Hukum Suatu Sistem Semiotika

Artikel1,149 views

Oleh: H Albar Sentosa Subari*

Sejak hukum ditulis, maka pembacaan terhadap teks hukum menjadi masalah yang paling penting. Oleh karena itu konsekwensinya pembacaan teks juga menjadi penting, sehingga terhadap teks hukum memiliki peranan sentral.
Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa penafsiran itu merupakan jantung hukum.
Hampir tidak mungkin hukum dijalankan tanpa membuka pintu bagi penafsiran.
Penafsiran hukum merupakan aktivitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan sejak hukum berbentuk tertulis.
Dalam hal ini dikenal suatu adagium Membaca Hukum adalah menafsirkan hukum.
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo mengatakan pembuat atau penegak hukum, bahwa suatu teks hukum itu sudah jelas, adalah suatu cara saja untuk bertindak pragmatis, seraya diam diam mengakui bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dipahami hukum itu adalah suatu sistem SEMIOTIKA, yaitu merupakan suatu sistem tanda yang berfungsi untuk menciptakan suatu keteraturan dalam kehidupan masyarakat.
Bagaimana manapun juga suatu peraturan hukum itu adalah merupakan suatu sistem tanda.
Perumusan hukum tertulis diungkapkan melalui bahasa, adapun bahasa memiliki dimensi struktural gramatikal dan dimensi makna mental yang sifatnya metafisik dan non empiris.
Jikalau suatu hukum merupakan suatu tanda, maka tidak cukup jikalau ditafsirkan hanya berdasarkan pendekatan penafsiran gramatikal, logis, teleologis saja melainkan mengungkapkan makna yang terkandung dalam hukum sebagai suatu tanda, sehingga pendekatan Semiotik menjadi penting untuk diperhatikan, lihat Kaelan.
Pendekatan Semiotika dalam mengungkapkan makna yang terkandung dalam hukum telah berkembang sejak tahun 1980 terutama di Eropa dan Amerika.
Semiotika memang masih berkembang dan terus proses menentukan bentuk nya, sehingga banyak muncul istilah istilah baru dan terutama dalam aspek penggunaan nya memang berbeda beda. Sejumlah paham serta perspektif dalam pendekatan hukum bermunculan seperti Peircian, Greimasian, Lacanian, Square Semiotic dan lain sebagainya.
Dalam kaitannya dengan proses penafsiran hukum dapat dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam analisis Semiotik memiliki tingkatan serta keterkaitan yang berbeda. Ada yang menempatkan satu pandangan dengan merupakan suatu paradigma dalam analisis makna hukum, namun ada juga yang melakukan sintesis diantara beberapa pandangan Semiotik dalam mengungkapkan dan menganalisis makna hukum. Lihat Freddy Susanto, 2005.
Bertolak dari sistem SEMIOTIKA tersebut maka hukum pada hakekatnya adalah merupakan suatu tanda, yang dirumuskan secara tertulis melalui bahasa atau tanda.
Tanda yang berupa hukum tersebut mengemukakan sesuatu makna yang merupakan substansi hukum yang disebut representamen, yang mengacu kepada objek yaitu realitas bangsa dan negara, masyarakat, serta budaya Indonesia.
Bangsa dan negara Indonesia berdasarkan filsafat Pancasila, sehingga nilai nilai Pancasila merupakan core values hukum Indonesia dan kemudian disimpulkan dengan Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Oleh karena itu realitas bangsa dan negara Indonesia dengan hukum sebagai tanda, harus memiliki hubungan dengan sila sila Pancasila yang terkandung dalam Alinea keempat dari Pembukaan UUD NKRI tahun 1945.
Yang dalam istilah lainnya sebagai RECHTS IDEE. Atau Cita Hukum bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil dan beradab menciptakan perdamaian dunia. (**)

*Penulis adalah ketua pembina adat Sumatera Selatan dan Koordinator JPM Sriwijaya

Komentar