Marga Sebagai Kesatuan Masyarakat Adat

Artikel420 views

Oleh: H Albar Sentosa Subari*

Untuk mengenal kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan istilah MARGA, kita harus menelusuri nya dari awal jangan sampai keliru dalam pemahaman. Kata ” MARGA” pertama kali didapati dalam piagam piagam Sultan sultan Palembang sejak lebih kurang 1760 M. Istilah MARGA berasal dari kata Sankrit ” VARGA” yang mengandung makna baik suatu teritorial tertentu maupun rumpun dan keluarga genealogis) (JLK.Swaab dan Wilken dalam Amrah Muslimin)
Van Royen dalam disertasinya tentang Marga mengatakan bahwa Marga dalam arti genealogis melalui tahapan (didasarkan pada pemikiran). Tahap pertama, tahap yang tertua ialah rumpun orang hidup mengembara dan berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Mereka ini merupakan kelompok terdiri dari jenis kelamin dan hidup dari penghasilan hutan, perburuan dan penangkap ikan. Menurut cerita mereka ini adalah orang orang Hindu atau Jawa, yang mengembara menyusuri sungai, mencari tempat yang serasi, air dan tanah yang baik untuk kebutuhan mereka.
Tahap kedua, semula sebagai pengembara menjadi penghuni. Anggota nya bersatu karena masih seketurunan.
Tahap ketiga, kesatuan masyarakat hukum adat tersebut mulai berladang berpindah dari talang ke talang, akhirnya membuat dusun baru. Tahap keempat, setelah berkembang sedemikian rupa, sehingga telah terjadi rumpun rumpun yang menetap di suatu lokasi.Tahap kelima, dalam suatu daerah dengan batas batas alamiah secara geografis tidak hanya terdapat rumpun rumpun yang seketurunan,tapi ada juga rumpun rumpun yang datang kemudian, yang tetap merupakan kesatuan mandiri dan merasa seketurunan dari nenek moyang lain , tanpa ada pencampuran rumpun
Sebagai ilustrasi dapat disebut rumpun rumpun Pasemah yang berpindah dan bermukim di Semende darat, yang membentuk kesatuan masyarakat hukum adat yang kemudian menjadi Marga Semende,Makakau,Bayan dan Kisan. Disini mulai timbul kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial nya lebih menonjol, sedangkan sifat genealogis nya menyusut kebelakang.Mulai dalam stadium inilah timbul nama Marga sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.
Sekitar tahun 1455 sampai tahun 1851 memasuki priode kesultanan Palembang menelusuri muara sungai Musi masuk ke pedalaman, melewati dusun dusun di aliran sungai sungai.
Pada daerah daerah yang ditundukkannya, ia memberi gelar gelar kehormatan yaitu PANGERAN.
Dilanjutkan dengan masuknya kolonial Belanda, marga dikukuhkan sebagai masyarakat hukum adat (termasuk sistem pemerintahan), dari sisi juridis, yaitu IGOB ( Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewesten Stbl 1938 no. 490 Jo 681). Pasca kemerdekaan eksistensi masyarakat hukum adat diakui dalam Pasal 18 UUD 45 yang asli.(lihat penjelasan) yaitu Dalam teritorial negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen seperti DESA di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau dan DUSUN serta MARGA di Palembang. Yang mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Catatan penulis ada kalimat mempunyai susunan asli maksudnya adalah dusun dan marga dalam arti genealogis, sebagai marga tahap awal. Bukan marga berdasarkan IGOB yang telah dicabut oleh UU no 5 tahun 79 Jo Kemendagri nomor 11 tahun 84 Jo SK Gubernur Sumatera Selatan Nomor 142/83.
Jadi logika hukumnya kalau mau menghidupkan marga dengan mencabut SK Gubernur Sumatera Selatan tersebut sama artinya setuju dengan marga buatan Belanda. Itu tidak mungkin.Dimungkin adalah adanya kesempatan adanya rencana perubahan UU no 25 tahun 1959 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Selatan, yang naskah akademik sudah mulai didiskusikan dengan pakar. Rencana hari Senin tanggal 21 Februari 22, akan dilaksanakan diskusi awal dengan Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan (pakar hukum adat), sekaligus sebagai dewan pakar dari sekretariat nasional untuk perlindungan hak konstitusional masyarakat hukum adat. ( Akta notaris no.44, H.Asman Yunus,31 Januari 2007).
*Penulis adalah Pengamat Hukum di Sumatera Selatan

Komentar