Restoratif Justice Dasar Kemanusiaan dan Keadilan

Artikel401 views

Oleh: H Albar Sentosa Subari*

Bicara Restoratif Justice banyak sisi yang dapat dilihat. Antara lain sisi kemanusiaan dan keadilan.Semuanya itu tidak terlepas dari tujuan hukum yaitu Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadilan.
Setiap kasus mempunyai perbedaan perbedaan dalam penyelesaian nya. Ada yang harus di selesaikan di peradilan negara, ada juga sebenarnya yang dapat diselesaikan di Perdamaian adat.
Perdamaian adat di dalam nya terdapat unsur unsur kemanusiaan dan keadilan yang lebih utama dan pertama. Beda dengan peradilan negara yang banyak berakhir dengan kepastian hukum.
Pada kesempatan kali ini kita mencoba bicara apa yang disebut dengan Restoratif Justice.
Akhir akhir ini sering kita baca di media massa contoh berita berjudul Penganiayaan Istri Dibebaskan dengan cara mendapatkan keadilan Restoratif Justice.
Seiring dengan itu pula hari ini ada seminar dan penandatanganan MOU antara Kejaksaan Tinggi, Kepolisian Daerah dan Lembaga Adat Melayu Jambi di Jambi. Tentang Restoratif Justice.
Sebenarnya kalau fungsi dan wewenang fungsionaris adat berfungsi dengan baik dan eksis tentu semua persoalan persoalan sengketa antar masyarakat yang sifatnya ringan dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan maka semua perselisihan bisa diselesaikan dengan damai tanpa harus melalui penegak hukum. Karena kalau misalnya perdamaian adat atau boleh juga disebut Restoratif Justice harus melalui lembaga formal, maka akan memakan waktu yang lama karena harus melalui birokrasi yang panjang.
Sedangkan di sisi lain si pelaku ataupun korban sudah menanggung akibatnya baik sanksi fisik maupun sanksi sosial.
Melalui tulisan ini sebenarnya tujuan akhirnya adalah hendak nya dihidupkan kembali peranan pimpinan informal yang ada di masyarakat hukum adat di Nusantara, sehingga persoalan persoalan kecil, persoalan keluarga, persoalan masyarakat dapat diselesaikan dengan baik dan damai. Kalau sudah masuk di lembaga penegak hukum bisa dilakukan apa yang dikenal dengan istilah diskresi.
Tentu semua ini diawali dengan kesepakatan bersama antara lembaga atau institusi yang terkait melalui nota kesepahaman . MoU , bisa dilakukan di tingkat kabupaten dan kota masing-masing yang diprakarsai oleh Lembaga Adat yang ada.
Tentu semua ini memerlukan dukungan semua pihak tanpa kendala yang berarti, seperti yang terjadi selama ini contoh nya kita masih ada sisi gelap nya. Kita menggunakan istilah Pengadilan Desa catatan bukan Peradilan Adat istilah Prof. Dr. Hazairin SH atau Hakim Perdamaian Desa istilah Prof. Dr. Soerjono Soekanto,SH. Dalam bukunya Kepala Desa sebagai Hakim Perdamaian Desa.

Berita terakhir yang dapat kita baca di media berjudul Kakek Hasan Basri dibebaskan Hakim ( diseret ke meja hijau karena menyemprot 20 anak pisang.
Sebenarnya dalam kasus ini sebagai ilustrasi , tidak perlu sampai melalui proses panjang, mengingat usia bersangkutan sudah mencapai 82 tahun, dan sudah diselesaikan secara adat melalui Fungsionaris adat yang berlaku setempat dengan denda adat berupa seekor kambing, beras serta selemak semanis nyo, kemudian kompetensi uang dua setengah juta rupiah.
Sedangkan di dalam berita disebutkan pelapor hanya mengalami kerugian satu setengah juta rupiah.
Terlepas dari berita kasus di atas , sebenarnya pihak kepolisian sejak awal sudah bisa melakukan diskresi, dengan tidak melanjutkan proses hukumnya.
Mengingat terlapor berusia 82 tahun, sudah dilakukan perdamaian adat. Terlapor sudah di beri sanksi adat berupa pemberian seekor kambing, beras, selemak semanis nyo serta uang kompensasi yang besarnya melebihi dari pada kerugian pelapor.

Baca Juga:   Kolektivisme dan Kepentingan Perorangan

*Penulis adalah pengamat Hukum di Sumatera Selatan

Komentar