Lembaga Adat tepat di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa

NASIONAL653 views

Oleh: H Albar Sentosa Subari*

Lembaga Adat sebutan umumnya, pembina adat khususnya baik ditingkat provinsi apalagi di kabupaten kota: posisinya lebih tepat bermitra dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Argumentasi yuridis nya bisa kita baca Surat Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, tanggal 30 Agustus 21 nomor 189/3836/BPD.
Surat tersebut ditujukan kepada Gubernur dan Bupati Walikota seluruh Indonesia tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Surat tersebut menindak lanjuti tentang evaluasi Undang Undang no 6 tahun 2014 tentang desa , yang dikaitkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Dimana intinya memerintahkan Gubernur untuk mendorong Bupati Walikota agar segera melakukan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang berada di wilayah masing masing.
Serta memerintahkan Bupati Walikota untuk membentuk kepanitiaan guna melakukan identifikasi sebagai langkah upaya Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui keputusan kepala daerah.
Fakta di lapangan ambil saja contoh kita di Sumatera Selatan, beberapa lembaga adat baca pembina Adat Kabupaten masih bermitra dengan Dinas dinas yang tidak terkait langsung untuk pembinaan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Padahal itu sangat urgen untuk menjadi suatu eksistensi masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum (legal standing).
Informasi yang saya dapatkan maksimal lembaga adat/Pembina Adat Kabupaten yang sudah tepat berada di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dan kebetulan sudah disosialisasikan oleh Pengurus Pembina Adat Sumatera Selatan adalah Banyuasin, Prabumulih, dan Lahat. Kemudian, yang lainnya beragam ada di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, ada di Dinas Pendidikan dan ada juga di Dinas Pemuda dan Olahraga.
Tentu ini berdampak pada pembinaan dan pembiayaan. Misalnya kegiatan terlalu fokus pada kegiatan-kegiatan yang bersifat serimonial, festival, kesenian,serta tradisi-tradisi yang bersifat legenda dan sebagainya. Tentu ini tidak menyentuh amanat yang dikehendaki oleh Perundangan-undangan.
Dimana pada pasal 18 B ayat 2 UUD 45 untuk diakuinya masyarakat hukum adat harus memenuhi persyaratan persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan pemerintah antara lain: Bahwa masyarakat hukum adat diakui kalau : Pertama masih ada, kedua sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban, ketiga berasaskan negara kesatuan republik Indonesia, dan keempat harus didasarkan pada perundangan undangan.
Kesemuanya persyaratan di atas sudah dijelaskan oleh Permendagri no 52 tahun 2014 dan surat Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa diatas. Tinggal lagi kita di daerah mampukah? itu jawaban yang harus kita jawab.
Untuk tingkat Propinsi Pembina Adat itu sebaiknya independen sesuai dengan Permendagri no 3 tahun 97 yang  mencabut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 11 tahun 1984, yang otomatis menghapus Perda 12 tahun 1988 .

*Penulis adalah Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan.

Komentar